Wednesday, June 14, 2017

I'tikaf

Bismillahirrahmanirrahim.

-
Hari 18
#RamadhanAsyik
#Ramadhan1438H

Secara Bahasa (Lughah), I'tikaf merupakan Al Mulaazim yang artinya  berdiam, membiasakan, menetapi (Lihat Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/244. Mawqi’ Ruh Al Islam) 

يقال عكف على الشيء : إذا لازمه 

Dikatakan, ‘akafa ‘ala Asy Syai’  (Dia menetap di atas sesuatu), artinya dia selalu bersamanya. (Ibid)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

الاعتكاف لزوم الشئ وحبس النفس عليه، خيرا كان أم شرا 

I’tikaf adalah menetapi sesuatu dan menutup  diri, dalam hal baik atau buruk . (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Sedangkan secara Istilah (Syara’),

والاعتكاف في الشرع : ملازمة طاعة مخصوصة على شرط مخصوص 

Secara syara’: menetap dalam rangka taat secara khusus dengan syarat khusus pula. (Fathl Qadir, 1/245) 

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan: 

والمقصود به هنا لزوم المسجد والاقامة فيه بنية التقرب إلى الله عزوجل. 

Yang dimaksud I’tikaf di sini adalah menetapi masjid dan menegakkan shalat di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Perihal mengenai i'tikaf disebutkan dalam Al Qur'an dan Al Hadits,

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ 

Janganlah kalian mencampuri  mereka (Istri), sedang kalian sedang I’tikaf di masjid. (QS. Al Baqarah : 187)

Dari ‘Aisyah Radiallahu ‘Anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ 

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu.(HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau I’tikaf 20 hari. (HR. Bukhari No. 694, Ahmad No. 8662, Ibnu Hibban No. 2228,  Al Baghawi No. 839, Abu Ya’la No. 5843,  Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan, 2/53)

Sayyid Sabiq Rahimahullah menceritakan adanya ijma’ tentang syariat I’tikaf:

وقد أجمع العلماء على أنه مشروع، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام، فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما. 

Ulama telah ijma’ bahwa I’tikaf adalah disyariatkan, Nabi  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf setiap Ramadhan 10 hari, dan 20 hari ketika tahun beliau wafat. (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Pada dasarnya memang tidak ada riwayat shahih berkaitan dengan keutamaan i'tikaf secara khusus. Akan tetapi, adanya riwayat bahwa Nabi, Istrinya dan para sahabat senantiasa melakukan i'tikaf setiap bulan Ramadhan secara tidak langsung menunjukkan keutamaan i'tikaf. Karena rasanya tidak mungkin mereka merutinkan amalan yang dianggap "biasa saja".

Apabila teringat diri yang malas beribadah, tapi mengharap lebih di bulan berkah, ingatlah doa Malaikat Jibril yang mustajabah, dan diaminkan oleh Rasul yang mulia,

شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ

“Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan, tetapi sampai Ramadhan berakhir, ia belum juga diampuni.” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod dari Jabir radhiyallahu’anhu, Shahih Al-Adabil Mufrod: 501]

Terutama di bagian akhir yang tersisa, sepuluh malam yang paling indah, ada malam yang penuh berkah, raihlah dengan sholat malam berjama’ah,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa sholat malam ketika lailatul qodr karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [Muttafaqun 'alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Sang panutan pun memberikan teladan, padahal dosa-dosa beliau yang telah lalu maupun yang akan datang; telah dianugerahi ampunan, dari Allah yang Maha Penyayang,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه

“Bahwasannya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau masih melakukan i’tikaf sepeninggal beliau.” [Muttafaqun 'alaih dari Aisyah radhiyallahu’anha]

Inilah petunjuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam di sepuluh hari yang tersisa, beliau beri’tikaf agar lebih fokus dan lebih giat dalam beribadah kepada Allah ta’ala, memutuskan diri dengan aktifitas dunia, dan mengurangi interaksi dengan manusia,

“Makna i’tikaf dan hakikatnya adalah memutuskan semua interaksi dengan makhluk demi menyambung hubungan dengan khidmah (beribadah secara totalitas) kepada Al-Khaliq.” [Lathooiful Ma’aarif: 191]

Disadari ataupun tidak, hal ini terlihat agak nerbeda dengan apa yang secara tidak langsung telah menjadi tradisi kita menjelang hari raya.

Nah, oleh karenanya, selagi kita masih diberikan kesempatan untuk menikmati indahnya bulan yang mulia, maka alangkah baiknya kita-pun bersiap untuk melaksanakannya.

Satu catatan yang ingin ditekankan adalah bahwa,
I'tikaf ini sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada-Nya, terlebih di bulan yang mulia.

I'tikaf bukan justru menjadi momen untuk ngobrol ngalor ngidul, apalagi cuma numpang tidur :(
#ntms

Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya

No comments:

Post a Comment