Tuesday, May 27, 2014

[Re-post] Saat mati, siapa yang menyolatkanmu?


Saudaraku.....
Sudahkan engkau memilih orang-orang yang akan berdiri kelak mengisi shaf-shafmu, dibelakang jenazahmu ketika kamu disholatkan?

Pertanyaan yang aneh barangkali membingungkan, apa mungkin kita memlilih orang-orang yang menyolatkan jenazah kita? Apa mungkin kita memilih orang orang yang mendoakan kita?

Adalah hal yang lazim, bahwa biasanya yang menyolatkan sesorang adalah orang yang mencintainya, teman-teman dekatnya, karib kerabat dan orang-orang yang mengenalnya. Merekalah yang lazimnya berdiri kelak di shaf, dibelakang jenazahnya ketika disholatkan.

Sudahkan anda berpikir?
Siapakah kelak yang menangis disisi anda ketika anda meregang nyawa, menghembuskan nafas terakhir dan mentalqinkan anda “Laa illaha ilallahu”?

Sudahkah anda berpikir?
Siapakah kelak yang akan memandikan jasad anda dan mekafankan tubuh anda?

Sudahkah anda berpikir?
Siapakah kelak yang akan akan menyolatkan anda, mengantarkan kekuburan, bahkan menurunkan ke liang lahat?

Lalu siapa pula yang berdiri, dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar engkau diberi keteguhan saat ditanya malaikat di alam barzah.

Sekarang cobalah lihat ketika jenazah diantar ke kuburan? Cobalah lihat siapa yang mengantar ke kuburan?

Bukankah orang orang yang sama seperti yang diantar? Bukankah orang-orang yang sama, yang dekat, yang ketika di dunia saling mengenal dan mencintai?

Rosulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :

“Jangan kamu bersahabat melainkan dengan orang yang mukmin dan jangan berikan makan kecuali kepada orang yang bertakwa.” [Hadis riwayat Abu Daud dan at-Tirmizi]

Bukankah perumpamaan teman yang baik seperti penjual wangi wangian? Sedangkan perumpamaan teman yang buruk seperti pandai besi?

Saudaraku.....
Inilah realita didunia, lebih baik kita menelan pahit di dunia, daripada kita menelan pil pahit di yaumil qiyamah kelak.

Rosulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :

“Tidaklah seorang muslim meninggal dunia lantas dishalatkan (shalat jenazah) oleh 40 orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun melainkan Allah akan memperkenankan syafa’at (do’a) mereka untuknya.” (HR. Muslim no. 948)

Tidaklah kita ingin orang-orang sholeh, mendoakan disampingmu, ketika anda wafat? Lalu mentalqinkanmu, lalu memandikanmu, mengkafankanmu, menyolatkanmu, mengantarkan dan menurunkan jenazahmu ke liang lahat sesuai sunnah Rosulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam?

Kemudian setelah itu mereka menengadahkan kedua tangan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, memintakan ampunan kepadamu. Tidak pernahkah engkau membayangkan betapa indahnya ini?

Ketahuilah ketika anda wafat, orang yang bersedih adalah orang orang yang mengenal anda. Ketahuilah ketika anda wafat, orang yang menangis adalah orang yang mengenal anda.

Maka dari sekarang, wahai saudara saudariku....

Pilih orang-orang yang akan menyolatkanmu kelak dan yang mendoakanmu kelak. Apakah engkau akan memilih orang-orang yang sholeh atau orang-orang yang maksiat?

Apakah engkau mengira bahwa kelak, yang akan mendoakan dan menyolatkanmu adalah orang-orang yang mengajakmu ke majelis ilmu (taman-taman syurga) atau orang yang mengajakmu bermain bola? Yang mengajakmu hura-hura, yang mengajakmu menonton sinetron dan drama?

Apakah engkau ingin yang menyolatkanmu kelak adalah orang-orang yang rajin membaca al qur'an dan ketika berbicara mengatakan “Qalallahu atau Qala Rosulullahu Shalallahu 'Alaihi Wasallam?” Ataukah orang yang selalu berkata kasar, kotor, keji dan menyampaikan berita berita yang tidak baik kepada anda?

Siapa yang anda inginkan menyolatkan anda kelak?

Apakah yang anda pilih orang-orang yang berdiri shaf-shaf sholat lima waktu dimasjid masjid kaum muslimin? Ataukah orang yang tidak sholat, sibuk bermain gitar, domino dsb ?

Pilih Saudaraku.......

Oleh karena itu, jangan berteman kecuali dengan orang yang sholeh, jangan bersahabat kecuali dengan orang yang bertaqwa, dan berusahalah untuk bersahabat dengan orang-orang mukmin yang bertauhid dan tidak menyukutukan Allah dengan suatu apapun.

Mudah-mudahan kelak mereka yang akan mendoakanmu dan mereka yang menyolatkanmu, sehingga mereka yang akan menjadi syafaatmu di yaumil akhir kelak. Aamiin......

15 Rojab 1435H / 15 Mei 2014M

Ditulis oleh Abu Sa'id, di tengah kesunyian kota Surabaya, sambil mengingat sahabat dan gurunya ust Imam Wahyudi rohimahullah

Dinukil dari kajian ust Abu Zubair Hawaary, Lc hafidzahulloh “Saat mati, siapa yang menyolatkanmu?"

Saturday, May 24, 2014

[Re-Post] untuk direnungkan :')

Man Robbuka?
Oleh Agus al Muhajir
Join us: onedayonepage.net 

 Alkisah seorang santri sedang belajar bahasa Arab. Sebutlah namanya Madun. Dia adalah seorang santri yang masuk dalam jajaran para santri yang ada dalam kesulitan untuk menguasai pelajaran bahasa Arab, maklumlah Madun adalah orang yang tidak berani untuk mempraktikkan apa yang sudah dia pelajari.

Pada satu hari Madun dipanggil oleh ustadz dan ditanya , “Dun, kenapa Antum tidak pernah bicara pake bahasa Arab, praktiklah Dun biar Antum cepet bisa.” “Eeehhh, ana malu stadz, khawatir salah. Apalagi dihadapan ustadz”, Jawab Madun. “kalau bicara sama orang mabuk antum berani Dun?” tantang Ustadz. ”Thayib Stadz, kalau sama orang mabuk mah ana berani lah. Paling dia juga ngak tahu bahasa Arab ana bener atau salah,” jawab Madun.Lalu ustadz menunjuk keluar kelas,”Tuh, diluar ada orang mabuk, antum samperin dia, terus ajakin ngobrol pake bahasa Arab ya Dun!” Lalu Madunpun bergegas menghampiri orang mabuk itu.

Terlihat Madun menepuk pundak orang itu dari belakang lalu berbicara pada orang itu. Dan Subhanallah,ternyata orang mabuk itu langsung tergeletak pingsan.

Sontak Ustadz dan seisi kelas berhamburan keluar, lalu Ustadz bertanya pada Madun,” Antum bilang apa sama orang ini, kok bisa sampai pingsan?” Lalu sambil tersipu madun menjawab,” Ngggg, anuu Stadz, tadi ana tepuk dia dari belakang kan, lalu ana bilang sama dia, ‘Man robbuka?’ Eeehhh dia langsung pingsan Stadz” dan para Santripun riuh seketika sambil berkata, “ pantes aja Dun, dia pikir ente malaikat kali!”

Cerita tentang si Madun ini barangkali membuat kita tersenyum simpul atau bahkan geleng-geleng kepala dengan kelakuan si Madun itu. Tapi sebenarnya cerita itu menyisakan sebuah pelajaran mendalam untuk kita. Sebuah pelajaran tentang pertanyaan yang akan dilontarkan oleh malaikat kepada kita kelak di alam Barzakh.

Banyak diantara manusia sesungguhnya berposisi sama dengan orang mabuk yang ditanya si Madun tadi. Meninggal tanpa persiapan matang lalu tersentak di alam kubur dengan pertanyaan yang tak mampu dijawab dengan sempurna.

“Man Robbuka?” sebuah pertanyaan yang tidak sederhana. Sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab meski jawaban tentang hal tersebut sudah kita dapatkan bocorannya sejak kita belajar di sudut Surau di kampung sewaktu kecil, mushola atau Madrasah yang pernah kita menuntut ilmu didalamnya. Karena bukan hafalan kita yang berpengaruh saat itu, tapi pembuktian atas jawaban yang kita ucapkan saat pertanyaan itu menggelegar seiring mulainya alam Barzakh untuk sang mayat.

“Man Robbuka?” sebuah pertanyaan menghentak yang seharusnya kita persiapkan jawabannya sejak kita hidup. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya adalah salah satu inti dari aqidah kita. Sebuah pertanyaan tentang rubbubiyahNya Allah ta’ala.

Ketahuilah, ketika pertanyaan ini diucapkan oleh malaikat di alam barzakh sana, sesungguhnya Malaikat sedang bertanya dengan pertanyaan yang begitu panjang. Dia bertanya dengan pertanyaan Menohok ,”wahai mayat! Siapakah yang menciptakanmu? Siapakah yang memeliharamu sepanjang hidupmu? Yang memberimu rezeki? Yang mengurus detak jantungmu? Yang mengizinkanmu menghirup oksigen yang kaya dan sempurna di Bumi? Yang tanpa lelah dan tak pernah tidur mendengar semua permohonanmu dan memilih yang terbaik untukmu? Yang bahkan masih memberimu hari demi hari untuk menunggumu bertaubat dari dosa-dosa yang engkau lakukan dengan segala nikmat yang Allah berikan untukmu? Jawablah wahai mayat! Jawablah!

“Jika engkau menjawab dengan jawaban “Allah “ yang sudah engkau hafalkan di dunia, aku tak akan lantas percaya padamu! Aku tanya kau lagi wahai mayat,” sudahkah engkau menghambakan seluruh hidupmu pada Allah saja? atau engkau justeru terpedaya dunia lalu merunduk dan menghiba kepada makhluk Allah yang bernama dunia itu ?”

Maka banyak mata pada saat itu terbelalak. Tertautlah betis kiri dan kanan dengan ketakutan yang amat sangat akan pertanyaan itu,“ Man Robbuka?”

Duhai jiwa-jiwa yang lalai. Maka sebelum saat itu tiba. Tegurlah jiwamu dengan lembut, “Man Robbuka?” lalu biarkan rinai air mata itu mengiringi tunduknya hati dalam kesadaran yang penuh bahwa engkau hanyalah ciptaan-NYA. Engkau adalah ciptaan-NYA yang diciptakan dengan asma’-NYA yang penuh cinta. Kau tercipta atas nama Ar Rahman dan Ar Rahim. Kau yang dipelihara dengan sempurna atas nama Al Wadud alias sang Maha Cinta. Kau yang ditumbuhkan dengan pelukan kokoh Ar Rozaq yang tak pernah sedikitpun lalai atas engkau wahai makhluk yang kerapkali lupa untuk bersyukur.

Duhai engkau jiwa-jiwa yang meranggas dan tertatih dalam pesona dunia. Maka di sisa usia kita yang entah tinggal berapa helaan nafas lagi. Maka pahamilah bahwa Allah adalah Rabb-mu yang sempurna. Dan sujudmu, rukukmu serta sajadah panjang yang kau bentangkan seumur hidupmu adalah bukti pengakuanmu, pembenaranmu atas Rubbubiyahnya Allah yang begitu agung dan indah.

Thursday, May 1, 2014

💥 Ibu memang bukan aktivis 💥

[ re-share ]

Orang bilang anakku seorang aktifis. Kata mereka namanya tersohor di kampusnya sana. Orang bilang anakku seorang aktivis. Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat. Orang bilang anakku seorang aktivis. Tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak? Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu...

Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis, ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis. Dengan segala kesibukanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak?

Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak. Tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia…

Anakku, kita memang berada di satu atap nak, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini di manakah rumahmu nak? ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu di rumah, dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu. Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut...

Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu...

Ah, lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu. Atau jangankan untuk tersenyum, sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline. Padahal, andai kau tahu nak, ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja, memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu...

Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak. Tapi bukankah aku ini ibumu, yang 9 bulan waktumu engkau habiskan di dalam rahimku...

Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu. Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, ibu bangga padamu...

Namun, sebagian hati ibu mulai bertanya nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu? Kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu nak? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak?

Anakku, ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu. Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu. Memang nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan. Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak? Bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga nak?

Anakku, ibu mencoba membuka buku agendamu. Buku agenda sang aktivis. Jadwalmu begitu padat nak, ada rapat di sana sini. Ada jadwal mengkaji, ada juga jadwal untuk bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya. Di sana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada di sana...

Ternyata memang tak ada nak, tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal nak, andai engkau tahu, sejak kau ada di rahim ibu, tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu, selain cita dan agenda untukmu, putra kecilku…

Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional. Boleh ibu bertanya nak, di mana profesionalitasmu untuk ibu? Di mana profesionalitasmu untuk keluarga? Di mana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat...

Ah, waktumu terlalu mahal nak. Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu. Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya...

Semoga dapat menjadi introspeksi diri bagi kita.. :')