Bismillahirrahmanirrahim.
#Resensi Bulan Januari
Sebuah novel yang diadaptasi dari puisi...
Judul : Hujan Bulan Juni
Penulis : Sapardi Djoko Darmono
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-1843-1
Cetakan ke- : 8, bulan Juni
Tahun Terbit : 2016
Tebal: 135 Halaman
Resensor: L. Yuniasari
***
Jujur saja, hal pertama yang saya suka dari buku ini adalah judulnya yang menyebut bulan Juni. Bulan yang mengingatkan saya pada enam yang cukup saya sukai. Bulan yang setiap tahunnya tentu memiliki kisah dan kesan tersendiri...
Hari itu saya membeli dua buku berbeda dengan judul yang sama. Tentu saja, alasan saya membeli karena begitu tertarik ketika membaca judulnya...bulan Juni...
Sapardi, merupakan seorang ahli sastra yang begitu lihai memainkan bahasa. Itu menurut pedapat saya ketika sebelumnya sempat beberapa kali membaca rangkaian kata beliau di dunia maya.
...
Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar sapu tangan yang telah ditenunnya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang. Bagaimana mungkin...
Pertama kali ketika membaca dan mengikuti alur novel ini, saya sempat merasa terkejut. Novel yang mengisahkan tentang laki-laki bernama Sarwono yang merupakan dosen muda di UI dan perempuan bernama Pingkan yang hendak melanjutkan studinya ke Jepang ini ternyata memuat suatu konflik yang mungkin sampai saat ini masih cukup ramai diperdebatkan. Sarwono dan Pingkan yang keduanya dikisahkan memiliki 'rasa' yang sama, tetapi harus menghadapi kenyataan bahwa mereka berasal dari latar belakang Agama yang berbeda. Ini menjadi suatu hal yang sensitif memang, bahkan ketika membacanya saya merasa tidak sabar untuk mengetahui akhirnya.
Novel yang terdiri dari lima bab ini mengandung kombinasi antara bahasa modern sekaligus bahasa jaman dulu, yang dalam novel ini dikatakan zadul. Dalam halaman 39 sampai dengan 43 serta beberapa halaman lainnya, disajikan percakapan unik antara Sarwono dengan Pingkan yang ketika membacanya mungkin akan membuat kita tersenyum sendiri. Entah itu senyuman karena tidak memahami arah percakapan ataupun senyuman karena membaca hal-hal yang dirasa lucu... zadul.
Beberapa kali juga digambarkan bagaimana Sarwono dan Pingkan berkomunikasi melalui WA (Whatsapp) kemudian berbagi foto selfi yang secara tidak langsung menunjukkan perkembangan teknologi masa kini, meskipun tanpa mengesampingkan bahasa zadul yang menurut saya membuatnya terlihat menarik.
Pada saat membaca, si Pembaca akan dibawa ke dalam alur cerita yang memang maju-mundur, tetapi dirangkai dengan bahasa yang terbilang apik meskipun terkadang sulit dimengerti dalam sekali membaca. Akan tetapi, lagi-lagi yang membuatnya indah adalah rangkaian kata yang disajikan, bahkan terkadang saya justru terhanyut dalam rangkaian katanya daripada cerita utamanya (^^;)
Diantara rangkaian kata yang saya suka,
"...
Ia suka Jepang. Ia suka vokal akhiran 'u' yang diucapkan orang Jepang, tidak peduli sedang berbicara bahasa apa. Ia suka sakura yang hanya mekar di awal musim semi, dan langsung gugur bagaikan ronin yang dipenggal kepalanya oleh samurai yang dikhianatinya. Tetapi sakura tidak pernah berkhianat kepada siapapun, katanya selalu kalau berbicara dengan rekannya dari Jepang..." [Halaman 11-12]
"...Kesepian adalah benang-benang halus ulat sutera yang perlahan-lahan, lembar demi lembar, mengurung orang sehingga ulat yang ada di dalamnya ingin segera melepaskan diri menjadi wujud yang sama sekali berbeda, yang bisa saja tidak ingat lagi asal-usulnya. Hanya ulat busuk yang tidak ingin menjadi kupu-kupu..." [Halaman 81]
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa dalam novel ini tidak memiliki konflik atau permasalahan yang serius, kecuali berkaitan dengan hal yang sebelumnya telah saya sebutkan berikut keadaan kedua keluarga yang berlainan; kecemburuan yang disembunyikan; kondisi kesehatan Sarwono yang mengkhawatirkan serta akhir cerita yang menurut saya cukup mengesankan.
Bab kelima sekaligus penutup dalam novel ini berisi tiga buah sajak pendek sebagai jawaban Sarwono atas pertanyaan: "Apakah dirinya yang bersama Pingkan merupakan sebuah takdir ataukah nasib?" yang dalam beberapa waktu terakhir kian menghantuinya...
/i/
bayang-bayang hanya berhak setia
menyusur partitur ginjal
suaranya angin tumbang
agar bisa perpisah
tubuh ke tanah
jiwa ke angkasa
bayang-bayang ke sebermula
suaramu lorong kosong
sepanjang kenanganku
sepi itu, air mata itu
diammu ruang lapang
seluas angan-anganku
luka itu, muara itu
/ii/
di jantungku
sayup terdengar
debarmu hening
di langit-langit
tempurung kepalaku
terbit silau
cahayamu
dalam intiku
kau terbenam
/iii/
kita tak akan pernah bertemu:
aku alam dirimu
tiadakah pilihan lain
kecuali di situ?
kau terpencil dalam diriku
...
Ini merupakan kali pertamanya saya me-review buku sastra. Sejujurnya bahasa yang digunakan dalam ketiga sajak tersebut merupakan bahasa yang sederhana, hanya saja dapat menghasilkan penafsiran yang berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lainnya.
Ada sebagian yang berpendapat bahwa mereka kurang puas dengan novel ini karena alur cerita, korelasi antara judul dengan cerita ataupun bahasa penyampaian dalam cerita yang seolah kurang menantang. Akan tetapi, sekali lagi saya memiliki penilaian positif tersendiri untuk karya sastra yang satu ini. Semoga aku, kamu, dia, mereka, dan kita semua juga dapat produktif dalam menghasilkan suatu karya sebagaimana sastrawan yang karyanya telah mendunia. Aamiin.