Monday, October 30, 2017

Sebuah Buku: "Kitab Al Hikam"

Bismillahirrahmanirrahim.

#ResensiBulanOktober

Judul : Kitab Al Hikam
Penulis : Syekh Ibnu Athaillah
Penerjemah: Imam Sibawah El Hasany
Penerbit : Zaman
ISBN : 978-602-1687-14-7
Cetakan ke- : 1
Tahun Terbit : 2015
Tebal: 283 Halaman
Resensor: L. Yuniasari

Al Hikam merupakan sebuah kitab klasik yang berisikan berbagai macam hikmah yang sekaligus dapat membimbing kita untuk senantiasa berpegang teguh pada Al Qur'an dan As Sunnah.

Al Hikam dipandang sebagai kitab 'kelas berat'. Hal ini bukan dikarenakan struktur kalimatnya yang sulit dimengerti, melainkan karena kedalaman makrifat yang diturunkan lewat kalimat-kalimatnya yang singkat.

Menurut saya, buku ini lebih cocok untuk "disantap" secara perlahan. Tidak dalam sekali habis. Salah satu yang menjadi alasannya mungkin karena pemilihan kata dan gaya bahasanya yang lebih asyik untuk dinikmati secara perlahan. Pelan-pelan.

"Di antara tanda sikap mengandalkan amal ialah berkurangnya harapan ketika ada kesalahan."

Buku ini menyajikan tiga puluh bagian dengan judul yang beraneka ragam, mulai dari Berserah Pada Takdir dan Anugerah hingga Zikir dan Pikir.

Setiap bagiannya, kita akan menemukan beberapa paragraf terpisah yang berisikan untaian nasehat ditambah dengan penjelasan singkat yang menurut saya dikemas dengan bahasa yang apik.

Sebagai catatan singkat terakhir, ketika kita membaca buku ini dan mendapati kalimat atau kata yang tidak dipahami maka jangan segan dan ragu untuk bertanya kepada "guru ngaji" atau orang yang lebih mengerti. Hal ini dimaksudkan agar segala macam untaian nasehat yang disampaikan dalam buku ini-pun dapat membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Allahumma aamiin.

"Ilmu yang bermanfaat adalah yang cahayanya melapangkan dada dan menyingkap tirai kalbu..."

Mohon maaf lahir dan bathin, barangkali saya sendiri juga masih perlu mempelajari kitab ini lebih dan lebih lagi.

Tetap semangat berbuat baik, wahai orang-orang baik!

Monday, October 9, 2017

Perbandingan Peran Audit di Indonesia & Pakistan


Sistem ekonomi Islam adalah temuan yang sangat berharga untuk mengatur perekonomian saat ini, perkembangan perbankan syariahpun begitu pesat di berbagai belahan dunia, salah satunya Negara Pakistan. Negara Pakistan atau bisa disebut juga Republik Islam Pakistan, dengan nama ibu kota Islamabad yang mayoritas penduduknya adalah muslim, penduduk muslimnya mencapai 919.000 jiwa. Pertumbuhan ekonomi islam pada Negara ini tumbuh dengan cukup pesat.

Dalam dua dasawarsa terakhir, menurut bank pemerintahan Pakistan melaporkan bahwa asset bank islam pada bulan September 2014 adalah 1102 miliar rupee dan deposito mereka tercatat adalah 934 miliar rupee, market share perbankan syariah asset dan simpanan di industri perbankan secara keseluruhan meningkat 10.7 persen pada akhir September 2014. Pada bulan September 2015 asset bank syariah mencapai 1511 miliar rupee dan deposito yang ada mencapai 1271 miliar rupee.

Hal ini menunjukan bahwa industri keuangan syariah diadopsi secara kumulatif sebagai perbandingan untuk perbankan konvensional. Hal itu menyebabkan menjadi peluang besar untuk melakukan banyak kecurangan. Setelah kejadian ini, bank pemerintahan Pakistan memutuskan untuk setiap lembaga keuangan syariah memiliki konsistensi dalam tata kelola keuangannya. Dengan adanya tata kelola dan cara yang sesuai dengan keuangan syariah yang berlaku, maka akan dapat memudahkan mendapatkan kebijakan yang tepat dan diterima oleh para pemangku kebijakan di bank syariah, seperti nasabah, investor, pemegang saham, karyawan, dan lain-lain.

Tentu dengan adanya tata kelola yang sesuai syariah belum cukup untuk menangani celah-celah kecurangan yang mungkin saja terjadi. Oleh karena itu, audit syariah hadir di Pakistan atas dasar keprihatinan terhadap institusi keuangan islam di Pakistan. Dihadirkan pula para auditor syariah untuk mengawasi dan mengevaluasi setiap pelaksanaan ekonomi syariah di berbagai lembaga yang menjalani perekonomian syariah di Pakistan.

Berbeda hal dengan audit syariah di Indonesia, jika audit di Pakistan hadir karena masih banyak celah kecurangan dalam pelaksanaan dan tata kelolanya, di Indonesia para auditor syariah hadir untuk mengawasi dan mengevaluasi setiap pelaksanaan ekonomi syariah di berbagai lembaga yang menjalani perekonomian syariah di Indonesia. Seharusnya yang menjadi auditor syariah adalah Dewan Pengawas Syariah (DPS), tapi dalam pratiknya yang menjalankan tugas audit bukanlah DPS.

Dewan Pengawas Syariah adalah sebuah fitur istimewa dalam lembaga keuangan syariah dan di anggap ‘supra authority’. Hal ini dikarenakan DPS adalah lapisan tambahan dalam struktur dewan, untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap kegiatan operasional bank syariah. Lebih jelasnya, peran dan tanggung jawab yang diberikan Dewan Syariah Nasional (DSN) kepada Dewan Pengawas Syariah dalam surat keputusan DSN MUI No.Kep-98/MUI/III/2001 tentang susunan pengurus DSN MUI masa bakti Th. 2000-2005 :
  1. Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah.
  2. Mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN.
  3. Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasi kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran.
  4. Merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan dengan DSN.
Audit syariah juga disebut sebagai akuntan publik yang mengaudit dan memberikan kesimpulan dari laporan keuangan suatu lembaga/perusahaan sebagaimana akuntan publik lainnya. Namun, auditor syariah hanya mengaudit lembaga/perusahaan yang melaksanakan ekonomi syariah saja. Akan tetapi, auditor syariah yang ada saat ini masih sangat minim dan kompetensinya belum mampu berbuat banyak atas permasalahan yang terjadi dalam ekonomi syariah, sehingga banyak akuntan publik yang belum berpengalaman dalam keuangan syariah dijadikan sebagai auditor keuangan oleh lembaga yang menjalankan perekonomian syariah. Karena hal tersebut, tantangan kompetensi auditor syariah di Indonesia menjadi sangat berat dan harus secepat mungkin untuk ditutupi kekurangannya agar perekonomian syariah mampu dievaluasi dan dapat dipercaya kebenaran syariahnya oleh masyarakat umum.

Jadi, kesimpulan yang ada ialah bahwa di Negara Pakistan, seorang auditor hadir karena masih banyaknya kekurangan yang ada pada sistem dan tata kelola pada lembaga-lembaga syariah dan perbankan syariah. Sedangkan di Indonesia, auditor hadir sebagai suatu lembaga yang bertugas untuk mengawasi dan mengevaluasi setiap pelaksanaan ekonomi syariah di berbagai lembaga yang menjalani perekonomian syariah di Indonesia.

***
Referensi :
  • Journal of Internet Banking and Commerce ( CPMPETENCY OF SHARIAH AUDITHORS: ISSUES AND CHALLENGES IN PAKISTAN)
Penulis :
Azzam Fadhlullah
Mahasiswa STEI SEBI