Tuesday, May 10, 2016

Itu Aktivis atau Jomblo Galau?

Selasa, 10 Mei 2016 /
02 Sya'ban 1437 H

بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh: Yuli Fhirmarijal

Bagi aktivis dakwah, apapun bisa dijadikan sarana untuk menebar kebaikan. Termasuk media sosial. Tapi teknologi yang satu ini sedikit mengalami pergeseran fungsi. 

Beberapa aktivis dakwah kemudian menjadi begitu terbuka di media sosial lalu mengungkapkan curahan hatinya di khalayak maya. Fenomena ini akhir-akhir ini makin menjamur. Sampai-sampai, muncul pertanyaan: “Bang, itu akun aktivis dakwah apa jomblo galau?"

Pertanyaan yang nusuknya tepat di ulu hati. Sebenarnya itu bukan pertanyaan tapi sindiran telak. Anggap saja seperti kartu kuning di pertandingan sepakbola. Sebuah peringatan keras. 

Hematnya, bukannya tak boleh menggalau ria di akun medsos pribadi. Sekali dua kali, it’s oke. Toh, aktivis dakwah juga manusia. Tapi pertanyaan di atas tentu tak muncul jika postingan galau itu jumlahnya hanya hitungan jari. Besar kemungkinan, tulisan-tulisan tak terlalu penting itu sudah sangat sering terlihat di dinding-dinding facebook mereka dan masuk dalam kategori meresahkan. Begitulah kira-kira.

Yang agaknya menjadi perhatian para pendakwah adalah pemosisian dirinya sebagai sosok ‘paling’ (harap dibedakan antara ‘paling’ dan ‘merasa paling’). Salah satunya, pendakwah haruslah menjadi yang paling kuat di kalangan objek dakwahnya. Jika ini berhasil dilakukan, maka ia akan menjadi teladan. Harus diingat bahwa teladan ‘kekuatan’ tidak berarti tidak memiliki sisi lemah. Tak ada manusia yang sempurna, bukan?

Kekuatan yang dimaksudkan di sini adalah termasuk di dalamnya kemampuan untuk tidak mengungkapkan kegalauan hati kepada siapapun. Contoh yang paling tepat untuk ini adalah apa yang dilakukan oleh ‘Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhah tentang perasaan beliau kepada Fathimah binti Rasulullah radhiyallahu ‘anha dan sebaliknya. Berat memang, sebab manusia merasa sudah menyelesaikan beberapa persen masalah dengan hanya menceritakan masalah itu kepada orang lain. Padahal sebenarnya tidak sama sekali. Bayangkan lagi jika yang melakukan itu adalah seorang aktivis dakwah dan dilakukan secara terbuka di hadapan publik, yang dikhawatirkan adalah munculnya persepsi bahwa aktivis dakwah adalah juga orang-orang yang rapuh. Lalu di mana teladan yang ingin ditebar? Di mana esensi dakwahnya?

Jadi sebenarnya tidak ada alasan yang tepat jika seorang aktivis dakwah ingin orang lain tahu kegalauan yang sedang dialaminya. Kalaupun sangat berkeinginan kegalauan dinikmati oleh orang lain, menggalaulah dengan berkualitas dan terhormat. Curahkan kegalauan itu, misalnya, dalam sebuah karya sastra dengan tetap mengedepankan nilai-nilai dakwah. Atau tuliskan artikel dan kirim ke media misalnya. Itu jauh lebih bermanfaat.

Katanya jomblo terhormat, tapi masa gitu?

*uhuk*

No comments:

Post a Comment