Saturday, April 2, 2016

Bagian 15 tertulis, "Surat dari Bapak"

Bismillahirrahmanirrahim.

Selalu salut dengan ide brilian serta cara pikir dari orang-orang hebat di luar sana, baik itu penulis buku; komikus; bahkan pencetus konsep dalam suatu pertunjukan teater atau drama. Tepat pada malam ini aku dihadirkan dengan sebuah kalimat yang tak kalah menakjubkan, setidaknya itu yang aku pikirkan.

Hari Minggu lalu seseorang berkata, "Yang namanya ide itu memang mahal. Jika kalian memang punya ide, apapun itu maka jangan ragu untuk disampaikan. Jangan sampai kalian menyesal kemudian ketika ada orang lain yang mengusulkan suatu gagasan yang sesuai dengan apa yang telah kalian pikirkan."

...
Aku tidak terlalu dekat dengan Bapak, dia bahkan selalu keras mendidikku. Bapak sering memukulku jika aku melanggar peraturannya, apalagi saat mengetahui bahwa aku belajar mengaji pada Mamak, ilmu agama dari Tuanku Imam. Pernah dia menangkap basah aku yang sedang belajar adzan. Tak pelak, dia langsung berteriak marah bagai babi terluka. Bapak lantas memecut punggungku dengan rotan berkali-kali, membuat Mamak hanya bisa menangis menyaksikannya. (*)

Aku juga pernah dihukum berdiri di luar rumah panggung semalaman. Hujan turun deras membuat tubuhku menggigil kedinginan, namun tetap tak semili daun pintu pun dibuka untukku, hanya karena Bapak menemukanku sedang membuka buku belajar shalat yang diberikan Mamak. Buku itu pun dibakar Bapak. Tapi benarlah kata orang, meski semua hal itu adalah kenangan menyakitkan, kita baru merasa kehilangan setelah sesuatu itu telah benar-benar pergi, tidak akan mungkin kembali lagi. (*)

Malam ini, aku berkawan dengan kedua paragraf itu. Dimana ketika kembali membacanya, seolah diri ini diantarkan kembali kepada hal yang telah lalu. Tidak hanya satu, bahkan beberapa hal muncul dalam ingatanku. Ahh, betapa diri ini merindu.

Dua paragraf tersebut mengingatkan akan banyak hal. Mulai dari surat-surat yang secara tak sengaja terbaca beberapa minggu setelah dirimu bersama-Nya, beberapa lembar yang terdapat pada "Rindu", bahkan kata "rindu" dan kerinduan yang lainnya..

Tentang lembaran-lembaran itu, ketika memikirkannya saja sudah membuatku terdiam membisu. Teringat akan kisah sendu sekaligus senyuman baru. Illahi Rabbi, terimakasihku pada-Mu atas segala macam hal sekalipun itu telah berlalu.

...
Aku tahu, kau tetap penasaran tentang banyak hal, karena kau dibesarkan dengan rasionalitas. Tapi saat kau tiba pada titik itu, maka kau akan mengerti dengan sendirinya. Itu perjalanan yang tak mudah. Kau harus mengalahkan banyak hal. Bukan musuh-musuhmu, tapi diri sendiri, menaklukkan monster yang ada di dirimu. Sejatinya, dalam hidup ini kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme. Ketidakpedulian. Ambisi. Rasa takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa menang dalam pertempuran itu, maka pertempuran lainnya akan mudah saja. (*)

Sebelumnya aku ingatkan..

Aku bukan orang yang pandai merangkai kata.
Aku bukan orang yang bisa menyampaikan hal tertentu seperti umumnya.
Aku hanya senang menuangkan segala macam hal yang terlintas di kepala.
Dan mungkin untuk beberapa hal, seperti inilah caraku bercerita.

Langsung saja..

Surat mengingatkanku pada perjuangan. Kali ini tentang perjuangan yang dipandang sebelah mata, bahkan tidak dipedulikan. Sama sekali. Jika aku bisa kembali, rasanya begitu ingin menjadikan diri ini sebagai satu dari orang-orang yang masih peduli. Tetapi apalah daya hendak dikata, segala macam hal rasanya telah berlalu begitu saja. Seketika. Dan aku memandang perjuangan itu bukan suatu hal yang sia-sia. Terimakasih banyak.

Selanjutnya ada satu hal yang menarik disini. Rasanya hanya diri ini yang mengerti. Tanpa disadari, angka lima-belas seolah menyimpan suatu misteri. Dimana ketika memecahkannya, maka kau akan menemukan suatu hal tersembunyi. Suatu kenangan tersendiri akan nilai kehidupan yang penuh arti. Terimakasih karena telah memunculkan senyuman itu kembali.

Selain itu, ada suatu penghianatan yang tersirat di dalamnya. Seolah kembali mengingatkan pada kekecewaan sebelumnya. Ahh, betapa payahnya seorang hamba yang tak sekali-duakali menaruh harap pada makhluk lainnya. Semoga saja kita semua termasuk dalam golongan hamba yang bisa mengambil pelajaran dari aneka ragam kisah dan cerita. Ya, semoga saja.

Ketahuilah, Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapapun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran. (*)

Bersamaan dengan bergantinya hari dan tanggal ditambah dengan pertempuran yang kian mereda, maka marilah kita berkemas untuk hal-hal baru yang telah menunggu. Ini bukan hanya tentang saat ini ataupun yang telah lalu, tetapi juga tentang hari esok yang tidak kalah biru.

Selamat bersiap untuk memenangkan pertempuran berikutnya, hei prajurit!

(*) Dikutip dari Novel "Pulang"

No comments:

Post a Comment