"Maaf, nomor yang Anda tuju sedang dialihkan. Mohon tunggu sebentar."
-
Bismillahirrahmanirrahim.
Pernah mendapati jawaban seperti itu ketika bermaksud menghubungi seseorang? Lantas, apa yang terpikir ketika mendengar jawaban itu?
"Wah, dialihkan. Berarti pemilik nomor tujuan sedang ada kesibukan lain." | "Mungkin ada hal yang sedang tidak bisa ditinggalkan oleh pemilik nomor." | "....."
Ahh, itu tadi sekedar ilustrasi sekaligus kalimat pembuka.
Setiap orang, siapa saja tanpa terkecuali tentu memiliki skala prioritas yang berbeda. Bagi saya sendiri, salah satu yang dapat dijadikan sebagai titik tolak, tolak ukur atau acuan dalam menentukan skala prioritas adalah dengan melihat mana-mana saja yang lebih mendatangkan manfaat dan lebih minim mudharatnya.
Menuntut ilmu itu menjadi suatu kewajiban bagi Muslimin dan Muslimah, tanpa terkecuali. Dalam hal ini khususnya adalah mengenai ilmu Agama.
Lantas, bagaimana ketika kita dihadapkan dengan satu-dua-tiga aktivitas yang kesemuanya itu mengarah pada kebaikan, maksudnya insyaaAllah ada kebermanfaatan yang nantinya bisa kita dapatkan? Mana dari sekian pilihan yang ada tersebut yang pada akhirnya kita putuskan?
Untuk menjawab ini, saya menilai bahwa itu kembali pada sejauh mana kebermanfaatan yang akan kita dapatkan. Latar belakang jawaban tersebut adalah beberapa diskusi yang sebelumnya telah saya lakukan dengan beberapa orang yang juga merupakan orang berilmu, bukan orang yang berbicara tanpa ilmu dan tanpa landasan pada saat diskusi yang dilakukan.
Manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang memang tidak pernah puas akan sesuatu, bisa apapun itu. Hal ini juga dijelaskan berdasarkan ilmu, bukan semata-mata tuduhan yang mengada-ada.
Dalam kehidupan ini, selain ilmu Agama, kita juga sebisa mungkin menyeimbangkan antara ilmu Agama dengan ilmu dunia. Zaman sudah berkembang, maka sebagai seorang Muslim, kita juga harus menunjukkan bahwa Agama yang menjadi identitas kita-pun mengikuti perkembangan zaman. Oleh karenanya, sekali lagi, sebagai seorang Muslim-pun perlu menguasai berbagai macam bidang keilmuan, termasuk ilmu-ilmu dunia tanpa melanggar segala macam yang menjadi ketentuan dalam Agama kita.
Kembali lagi pada fitrahnya manusia yang tidak pernah merasa puas. Alangkah baiknya bagi kita untuk mengarahkan apa yang menjadi fitrah kita sebagai manusia ini dalam hal pencarian ilmu. Hauslah terus akan ilmu. Kalau dalam sebuah acara yang pekan lalu sempat saya ikuti, salah satu pembicara mengatakan "Ketika kita mendatangi suatu majelis ilmu, maka datanglah layaknya sebuah gelas kosong. Singkirkan sejenak 'isian' yang telah ada sebelumnya. Untuk apa? Hal tersebut dimaksudkan agar kita dapat menerima apa-apa saja yang disampaikan. Jadi, bukan hanya sekedar 'numpang lewat' kemudian dalam perjalanan pulang begitu saja terlupakan..." *Istighfar
Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan yang sempat dituliskan di awal postingan ini, saya menilai bahwa apabila kita dihadapkan dengan beberapa aktivitas dalam waktu bersamaan, maka menjadi tugas kita untuk melihat sejauh mana kebermanfaatan yang bisa kita dapatkan. Mana yang lebih mendatangkan manfaat, kemudian mana yang justru lebih mendatangkan mudharat atau ke-tidak-manfaatan. Manfaat ataupun mudharat yang dimaksudkan tidak sebatas dalam hal kaitannya dengan dunia, -pun juga dengan 'kehidupan setelah di dunia'.
Setiap orang tentu mempunyai cara uniknya masing-masing dalam menyikapi suatu persoalan yang dihadapi. Untuk itu, perlu adanya pertimbangan yang mungkin tidak sekali-duakali dilakukan hingga akhirnya kita membuat suatu keputusan. Disadari ataupun tidak, seperti itu yang telah diri ini lakukan.
Ada beberapa hal yang terlintas di pikiran, tidak begitu saja dengan mudahnya tersampaikan. Akan tetapi, pada kesempatan ini, saya ingin mengingatkan bahwa jangan biarkan kita menilai sesuatu hanya dari satu sudut pandang. Cobalah 'tengok' sudut pandang lainnya. Karena boleh jadi, ada kebaikan yang juga bisa kita dapatkan dari sudut pandang yang sebelumnya dinilai berseberangan. Hei, bukan tugas kita untuk menjadi tukang judge yang dengan sembarang memberi penilaian. Setidaknya itu sentilan halus yang sebelumnya saya dapatkan.
Terkait satu bahasan, barangkali ada satu-dua orang yang menilai bahwa diri ini 'sakit'. Sakit karena dalam artian yang "tidak seperti mereka". Akan tetapi, sekali lagi diri yang masih faqir ilmu ini belajar bahwa hidup di dunia ini bukan hanya untuk dipusingkan dengan pandangan yang hanya dari satu sisi saja. Sebisa mungkin diri ini perlu untuk bersikap terbuka, menerima segala macam pendapat dan pandangan yang ada di sekitar kita. Dengan demikian, daripadanya diri ini bisa mendapatkan hal-hal baru lainnya yang mungkin sebelumnya ngga kepikiran. Kemudian terhadap hal-hal yang ternyata memang berseberangan dengan apa yang diajarkan dan diperintahkan, maka yang perlu kita lakukan adalah meninggalkan. Bijaksanalah dalam meninggalkan. Tidak begitu mudah memang, tetapi sederhana bukan? Pada intinya prinsip dalam diri memang diperlukan.
Hidup ini adalah pilihan. Bijaksanalah dalam memaksimalkan pilihan yang kita tentukan. Apabila yang dilakukan memang mengarah pada kebaikan, maka mengapa harus ragu untuk mengambil tindakan? 😏 *emot ngocol
Perlu diingat juga bahwa dari setiap pilihan yang kita tentukan, ada konsekuensi yang nantinya kita dapatkan. Namun, jangan biarkan resiko yang dihadapi kemudian justru membuat kita enggan dalam menentukan suatu pilihan. Karena seburuk-buruknya yang dilakukan adalah justru ketika memilih untuk menjadi 'penonton' di pinggir lapangan, padahal ada kesempatan, ada pilihan, dan ada peluang yang bisa kita manfaatkan... *sambil menatap ke depan kaca, kemudian berkaca tanpa berkaca-kaca
Alhamdulillah 'ala kulli haal.
Akhiru kalam, maafkan atas segala macam kekhilafan yang diri ini lakukan.
Mohon maaf lahir dan bathin.
-
Refleksi Jum'at pagi,
L.Y
Wah... makasih ya, Saya jadi terharu bacanya
ReplyDelete