Pada prinsipnya, kasus perdata tidak akan bisa menjadi sebuah kasus pidana. Apabila ada sebuah kasus perdata yang kemudian ditindaklanjuti di lembaga peradilan sebagai delik pidana, hal ini bukan berarti kedudukan kasus tersebut berganti. Alih-alih demikian, hal tersebut dapat terjadi karena pada dasarnya ada unsur tindak pidana yang terjadi di dalam kasus perdata yang tengah berlangsung.
Sebagai contoh, mari kita ambil sebuah perkara utang piutang alias pinjam-meminjam. Misal, A meminjam uang kepada B sebesar Rp 4.000.000,00. Kedua belah pihak membuat kesepakatan hitam di atas putih yang menjelaskan secara detail mengenai informasi data masing-masing, jumlah uang yang dipinjam, jumlah uang yang akan dibayarkan (termasuk bunga bila ada), keperluan penggunaan uang pinjaman, jangka waktu pembayaran, dan skema pembayaran.
Secara prinsip, urusan utang piutang merupakan hubungan keperdataan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1754 KUHPerdata mengenai definisi pinjam meminjam, “Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberi kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.”
Lantas, bagaimana urusan utang piutang tersebut yang jelas sebuah perdata dapat berubah menjadi tindak pidana?
Urusan tersebut dapat diperkarakan sebagai tindak pidana bila ditemukan unsur penipuan. Adapun yang dimaksud dengan penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP BAB XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog) ialah “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan oang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Dengan demikian, A dapat memperkarakan B ke lembaga peradilan dengan gugatan pidana bilamana B melakukan unsur-unsur penipuan seperti yang tertuang dalam pasal di atas. Pada intinya, selama B tidak memiliki iktikad baik untuk menjalankan ketentuan sebagaimana yang disepakati bersama, A berhak untuk menggugat.
Namun perlu diingat, hal ini berbeda apabila terjadi pada kasus wanprestasi. Seperti contoh, B telah melakukan pembayaran sebesar Rp 3.000.000,00. Selang beberapa waktu dari tanggal jatuh tempo, B tidak kunjung melunasi kewajibannya karena ketidakmampuannya. Untuk kasus yang seperti ini, maka A tidak dapat menggugat B secara pidana karena pada dasarnya B telah memiliki iktikad baik untuk menjalankan kewajibannya.
Selagi B memiliki iktikad baik untuk memenuhi apa yang menjadi kewajibannya, maka tidak bisa dilakukan gugatan pidana. Mengingat Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang” artinya pengadilan tidak bisa memidanakan seseorang lantaran ketidakmampuannya membayar utang.
Baca juga: Strategi pengajuan laporan pidana
Lain halnya jika sejak awal B mengetahui bahwa tidak ada uang yang bisa digunakan untuk membayar utangnya. Bila kasusnya seperti ini, maka B telah melakukan unsur penipuan sedari awal dengan sadar dan memiliki iktikad tidak baik.
Setiap perbuatan yang dapat diproses sebagai perkara pidana haruslah memiliki perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea). Siapapun boleh mengadukan perkara perdata yang dianggapnya seolah-olah menjadi sebuah pidana kepada pihak yang berwajib. Akan tetapi pada akhirnya, kejelian dan kebijakan dari penegak hukum tetap yang akan memutuskan apakah aduan tersebut dapat ditindaklanjuti sebagai pidana atau tidak.
Referensi : Bplawyers
Kalau lupa dia pernah ngutang, kena pasal gak Lucky-san? Hehe
ReplyDelete