Monday, December 29, 2014

[Re-share] Sulaiman al Qanuni Versi Sejarahwan Muslim dan Orientalis

Oleh: Fadh Ahmad Arifan*

A. Pendahuluan

Di penghujung akhir tahun 2014, muncul polemik mengenai penayangan serial film King Suleiman di A*TV. Di Negara Turki sendiri, film ini dilarang tayang oleh Erdogan. Sedangkan di Indonesia, film ini teta ditayangkan sejak 22 Desember 2014. Sekilas bila melihat cuplikan thriller nya, kesan yang muncul ialah gambaran Seorang Sulaiman al-Qanuni yang dikelilingi harem tidak berjilbab, berpakaian vulgar yang menonjolkan keseksian belaka. Wajar apabila seorang Ust. Yusuf Mansyur tidak mau tinggal diam. Melalui akun twitternya Ust Yusuf menulis “shalat sunnah hajat 2 rokaat, & doain supaya penayangan film sultan sulaiman di a*tv segera dicabut”.

Sejumlah petisi juga dibuat pengguna sosial media dan internet (netizen) mendesak penayangan film ini dihentikan. Tak tanggung-tanggung, di laman petisi online, Change.org, sedikitnya 4 petisi dibuat. Tuntutan petisi diantaranya meminta A*TV menghentikan tayangan serial televisi King Suleiman hingga meminta pemerintah untuk menghukum stasiun televisi yang menayangkannya.

Tulisan saya kali ini juga merupakan bentuk “protes” sekaligus pelurusan sejarah. Agar yang membaca menjadi paham siapa sejatinya sosok Sulaiman al-Qanuni. Jangan sampai keluarga dekat saya, termasuk orang tua, sahabat dan teman-teman yang sekiranya masih awam di bidang sejarah; menelan mentah-mentah kisah dalam film tidak bermutu tersebut. Singkatnya, saya tidak ingin mereka punya kesimpulan bahwa seorang pemimpin besar Imperium Turki Usmani suka gonta-ganti perempuan seperti putra Sang fajar yang digelari "Waliyul amri dhoruri bis-syaukah".

B. Perspektif Sejahrawan Muslim

Bila anda membaca buku Sejarah Peradaban Islam dan buku-buku terkait Ottoman studies yang ditulis para sejahrawan Muslim. Sulaiman al-Qanuni ditahbiskan bersama Salim I bin Beyzid (w. 1519M) sebagai khalifah terkuat. Salim I dikenang sebagai khalifah yang menundukkan Shafawiyah (Syiah) yang bersekutu dengan penjajah Portugis menghadapi kaum muslimin.

Sulaiman al-Qanuni dilahirkan di kota Trabzun. Saat itu ayahnya sedang menjadi Gubernur di wilayah tersebut. Beliau naik ke singgasana kekuasaan pada saat baru berusia 26 tahun. Sulaiman ini tipikalnya bukan orang yang terburu-buru dalam semua tindakan dan mengambil keputusan. Bila telah mengambil keputusan, maka beliau tidak akan pernah menarik keputusan yang sudah diambil.

Sulaiman al-Qanuni bukan hanya terkenal di daratan Turki usmani, akan tetapi pada awal abad ke 16 ia adalah Kepala Negara yang paling terkenal di dunia. Dosen UIN Yogyakarta, Dr. M. Abdul Karim menulis, “ia seorang penguasa yang Saleh. Mewajibkan rakyatnya Sholat 5 waktu dan berpuasa di Bulan Romadhon, jika ada  yang melanggar tidak hanya dikenai denda namun juga sangsi badan”. Sulaiman ini juga berhasil menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Turki.

Satu lagi, pada saat Eropa terjadi pertentangan antara Katolik dan Protestan, non Muslim lari untuk minta suaka politik kepada Khalifah Sulaiman. Mereka diberi kebebasan dalam memilih agama dan diberi tempat di Turki Usmani. Jadi, disaat Katolik Roma dan Protestan mendzalimi pemeluknya, maka Sulaimanlah yang paling adil terhadap rakyatnya meskipun ada yang tidak beragama Islam.

Keberanian seorang Sulaiman al-Qanuni tak perlu diragukan lagi. Beliau terlibat dalam perang-perang besar yang ia pimpin sendiri (diantaranya yang terkenal, Battle of Mohács, 29 Agustus 1526 -red). Tidak mau menyerahkan kepada panglima Perangnya. Kata Buya Hamka, hal itulah yang membuat segan seluruh raja-raja Eropa ketika itu, sampai-sampai raja Perancis Frans I pernah minta bala bantuan kepada Sulaiman.

Sepanjang kepemimpinannya, Sulaiman al-Qanuni menguasai Beograd, semenanjung Krym hingga ibukota Wina, Austria. Beliau juga berhasil menaklukkan Hungaria dan sebagaian besar wilayah-wilayah Arab.

Di zaman Sulaimanlah disusunlah Undang-Undang Turki Usmani (Multaqa al- Abhur). Oleh karena itu beliau di gelari “al Qanuni”.

Begitu juga armada angkatan Laut Turki, Sulaimanlah yang membangunnya. Dibawah pimpinan Laksamana Khairuddin Pasha, yang lebih dikenal dengan Barbarosa (si Janggut Merah). Khairuddin dulunya seorang bajak laut Yunani yang dibawa ayahnya datang mengabdi kepada Khalifah. Keahliannya dibidang kelautan membuatnya dipercaya Khalifah sehingga suatu hari mampu menaklukkan Afrika Utara.

Banyak peninggalan-peninggalan Sulaiman al-Qanuni yang dapat kita kenang. Tahun 1550 M, Sulaiman al-Qanuni mendirikan Masjid baru di Edirne yang dihiasi 4 menara yang tinggi. Masjid itu diberi nama
“Masjid Sulaiman”. Selain masjid Sulaiman, didirikan pula 81 buah Masjid Jami’, 52 buah Masjid kecil, 55 buah Madrasah, 7 buah asrama besar untuk mempelajari al-Quran, 5 buah takiyah (tempat memberi makan fakir miskin), 2 bangunan Rumah sakit, 7 buah Jembatan, 33 buah Istana, 5 buah Museum dan 33 Pemandian umum (hammam). Semua ini diarsiteki oleh Mimar Sinan. Menurut Hamka, Sinan bukan hanya ahli desain bangunan, melainkan juga ahli “khat” yaitu tulisan yang indah-indah yang kerap menjadi hiasan masjid-masjid.

C. Perspektif Orientalis

Sempatkan bermain game “The Age of Empire III”, disitu kita dapati figur Khalifah Sulaiman yang digelari orang Barat dengan “the Magnificent”. Di game tersebut, Sulaiman punya pasukan elit khusus yang bernama “Janissary” atau “Yenicheri”. Menurut Stephen Turnbull, beliau naik ke singgasana kekuasaan ketika berumur 25 Tahun. Sayangnya Turnbull tidak mencantumkan referensi soal umur ini.

Selama 46 tahun pemerintahannya, Sulaiman memperluas imperiumnya di timur Anatolia, Irak, laut merah, hingga Hungaria. Beberapa wilayah ini lebih memberi keuntungan dari segi pertahanan ketimbang ekonomi. Tetapi keseluruhan wilayah yang ditaklukkannya memperkuat status Sulaiman sebagai penguasa salah satu kerjaaan terbesar di kala itu.

Colin Imber juga menulis bahwa di dalam struktur dinasti Ottoman, Sultan dibolehkan menikah sampai empat wanita sekaligus, bahkan Colin menyebut ada aturan yang mengijinkan laki-laki untuk memiliki hubungan seksual dengan budak-budak wanita sebanyak yang ia mampu miliki. Lebih lanjut dia menyebut kebanyakan sultan Ottoman berasal dari ibu budak dan tampuk kepemimpinan hanya diturunkan dari garis laki-laki saja. Colin juga menyinggung masalah keberadaan Harem di dalam istana yang dijaga para Kasim. Harem dapat memegang satu kekuatan politik, tetapi ia tidak terlihat dari dunia luar.

Di pembahasan tentang Harem ini sama sekali tidak membicarakan khalifah Sulaiman yang suka ganti-ganti Harem seperti dalam film King Suleiman.

Sosok Sulaiman al-Qanuni digambarkan dalam buku Colin Imber sebagai seorang Sultan tidak konsisten dengan aturan yang dibuat. Misalnya antara abad 14 dan abad 16 muncul tradisi untuk membatasi satu anak-laki-laki yang lahir dari istri raja. Ketika istri raja telah melahirkan seorang keturunan laki-laki, ia tidak akan pernah lagi tidur bersama raja. Realitanya tahun 1521 M, ketika Sulaiman al-Qanuni mempunyai satu-satunya anak laki-laki bernama Mustafa, yang ibunya merupakan seorang budak yang bernama Mahidrevan. Di Tahun yang sama, Sulaiman dikatakan punya anak laki-laki bernama Mehmed, dari ibu bernama Roxelana. Harusnya menurut aturan di Ottoman, Sulaiman tidak boleh melakukan hubungan seksual lagi bila ada istrinya telah melahirkan anak laki-laki.. Colin menambahkan lagi, sejak zaman Hurrem (seorang selir budak yang dicintai Sulaiman), terjadi perubahan pola struktur kekeluargaan. sangat biasa seorang selir melahirkan lebih dari satu anak.

D. Kesimpulan

Sosok Sulaiman al-Qanuni di buku-buku Sejarah yang ditulis oleh sejahrawan Muslim sama sekali tidak membahas aspek Harem di dalam istana. Mayoritas menguak secara dalam keluhuran akhlak Sulaiman al-Qanuni, kebijakan beliau terhadap pencari suaka hingga peninggalan-peninggalan berharga dalam bentuk monument atau bangunan-bangunan megah. Sedangkan pihak orientalis, mereka fokus pada peperangan yang dimenangkan oleh Sulaiman “the Magnificent”.

Orientalis seperti Colin Imber mencitrakan kepada pembacanya bahwa dinasti Ottoman cenderung memilih melahirkan keturunan dari para Selir budak. Bahkan soerang Sulaiman pun dilukiskan sebagai sultan yang tidak konsisten terhadap tradisi/aturan yang telah dibuatnya. Hemat saya, hendaknya kita sebagai Muslim merujuk pada buku-buku karangan Sejahrawan Muslim. Karena mereka lebih dapat dipercaya dan obyektif.
Wallahu’allam bishowab. 

(Penulis adalah Alumni MAN 3 Malang dan kini Dosen STAI al-Yasini, Kab Pasuruan, Jawa timur) 

*sumber: http://www.academia.edu/9904088/Khalifah_Sulaiman_al-Qanuni_Versi_Sejahrawan_Muslim_dan_Orientalis

No comments:

Post a Comment